Dabisnis.com – Bayangkan seseorang yang memiliki warung nasi goreng. Dia sudah menjalankan usaha tersebut selama setahun dan untung rugi telah dia alami. Memasuki tahun kedua, dia ingin memperbesar usahanya dari hanya sebuah warung menjadi sebuah restoran. Untuk membuka restoran tersebut dirinya membutuhkan modal sebesar Rp 100.000.000.
Demi mendapatkan modal sebesar Rp 100.000.000 dia menjual kepemilikan usahanya kepada dua orang temannya. Restoran tersebut pun diwujudkan dengan tiga orang sebagai pemiliknya. Sang pedagang nasi goreng memiliki 40% karena menyetor Rp 40.000.000 teman A memiliki 30% karena menyetor Rp 30.000.000 dan teman B juga memiliki 30%.
Sang pedagang, teman A dan teman B memiliki restoran tersebut dan bukti mereka memilikinya disebut sebagai saham. Dan setiap pemegang saham mendapatkan keuntungan bila perusahaan tersebut untung. Bila sebaliknya bila perusahaan tersebut tidak mendapatkan keuntungan pemegang saham akan rugi.
Jika pada awalnya pemilik restoran nasi goreng tadi mendapatkan keuntungan dan kerugian, dia sendirilah yang menanggungnya. Sekarang semua pemegang saham akan mendapatkan keuntungan dan kerugian sesuai dengan penghasilan perusahaan tersebut.
Inilah bukti bahwa saham itu merupakan bukti kepemilikan dalam suatu usaha. Tindakan menjual saham demi meraih modal yang dilakukan sang pedagang nasi goreng pun dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar. Namun kata yang digunakan berbeda.
Apa yang dilakukan oleh pedagang nasi goreng tidak dapat disetarakan dengan apa yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar. Perseroan Terbatas atau PT menjual sahamnya kepada publik dengan mekanisme Initial Public Offering atau IPO. Dengan dilakukannya IPO, PT tidak lagi disebut sebagai perusahaan tetapi disebut sebagai emiten karena kepemilikkan PT tersebut bisa dipegang oleh siapa saja yang berpartisipasi.
Selain disebut sebagai emiten, PT tersebut mendapatkan tambahan “Tbk” di belakang namanya. Contohnya PT Lippo Karawaci Tbk, PT Bank Central Asia Tbk. Dan harga-harga saham tersebut beragam. Seperti PT Elnusa Tbk yang per lembar sahamnya seharga Rp 332 dan contoh lainnya PT Unilever Indonesia Tbk yang per lembar sahamnya seharga Rp 44.000.
Di sini bila kamu ingin berpartisipasi dalam pasar modal, yang artinya membeli saham-saham emiten tersebut kamu harus memiliki rekening di perusahaan sekuritas. Perusahaan sekuritas adalah perusahaan yang memiliki lisensi untuk menghubungkan kamu sebagai investor dan emiten, sebagai penyedia saham Perusahaan yang merupakan sekuritas memiliki kata “Sekuritas” di namanya.
Beberapa perusahaan sekuritas di Indonesia adalah PT BNI Sekuritas, PT Phillip Sekuritas Indonesia, dan PT Panin Sekuritas. Syarat untuk membuka rekening sekuritas adalah kartu identitas (seperti KTP/Passport), buku tabungan dan NPWP. Namun bila tidak memiliki NPWP pun tidak masalah.
Tentunya bila kamu mahasiswa mungkin akan bertanya-tanya, sekuritas apa yang terbaik? Jawabannya semua sekuritas di Indonesia itu kompetitif. Kualitas layanannya satu dengan yang lain benar-benar sudah cukup. Jadi tidak menjadi masalah sekuritas apa yang kalian gunakan.
Mengenai modal pun tidak perlu sebesar yang kalian kira. Dengan Rp 100.000 pun kamu bisa membuka rekening di sekuritas, yakni PT Indopremier Sekuritas atau IPOT. Yang perlu diingat adalah saham apa yang ingin kalian beli. Setiap kali membeli saham diwajibkan untuk membeli 1 lot yang berarti 100 lembar saham.
Katakan kamu hendak membeli saham Unilever Indonesia di mana satu lembar sahamnya Rp 44.000 maka dibutuhkan uang Rp 4.400.000 ditambah pajak. Pajak yang dikenakan sangat kecil, yakni 0,1% yang berarti bila dari total transaksi Rp 10.000.000 hanya dikenakan pajak Rp 10.000 atau 0,1%-nya. Pada saat kamu memiliki rekning di sekuritas berarti kamu bisa melakukan transaksi saham secara online, kamu bisa membeli dan menjual saham melalui handphone kamu.
Dalam kepemilikan saham terdapat dua jenis keuntungan capital gain dan pembagian deviden. Katakan kamu membeli saham Bank Rakyat Indonesia yang berkode BBRI. Saat kamu membeli BBRI seharga Rp 3.000 per lembar atau Rp 300.000 per lot dan kamu menjualnya di harga Rp 3.300 atau Rp 330.000 maka kamu sudah meraup keuntungan sebesar 10% dari kenaikkan Rp 3.000 ke Rp 3.300.
Dari sini, bila modal kamu Rp 10.000.000 maka kamu mendapatkan Rp 1.000.000 sebagai keuntungan dan menjadikannya Rp 11.000.000. Ini disebut capital gain. Bentuk lain keuntungannya adalah pembagian keuntungan perusahaan atau dividen.
Ambil contoh BRI yang mengantongi keuntungan Rp 29,04 triliun sepanjang tahun 2017. Dari keuntungan tersebut BRI membagikan Rp 13,04 triliun kepada pemegang sahamnya di 2018. Ini berarti bila kamu memegang saham BRI maka kamu akan mendapatkan cash Rp 106 per lembar saham.
Selain capital gain dan dividen kamu akan mendapat keuntungan satu lagi yakni pengembangan diri. Karena pada saat kamu memegang sebuah saham, kamu pun akan diundang kepada Rapat Umum Pemegang Saham atau RUPS. Pada saat RUPS, kamu akan menemui berbagai macam orang. Mempelajari apa yang dilakukan oleh direktur-direktur emiten-emiten tersebut.
Seperti emiten BRI, Unilever, Lippo Karawaci dan kamu akan mempelajari berbagai macam hal bagaimana orang-orang ini memimpin sebuah perusahaan. Kamu akan memperluas perkembangan diri dan kamu akan terdorong untuk aktif di dalam komunitas-komunitas saham tersebut.
Nah, namun ada resikonya. Sekarang mari kita lihat resiko dalam memiliki saham. Kerugian memiliki saham, pertama adalah jika emiten tersebut bangkrut. Bila emiten bangkrut maka seluruh aset emiten tersebut akan dijual dan pendapatan dari penjualan aset akan digunakan untuk membayar utang, kewajiban, hingga yang paling terakhir para pemegang saham.
Kerugian kedua adalah capital loss. Katakan kamu membeli saham di harga Rp 3.000 per lembar dan harganya turun ke Rp 2.700. Ini berarti kamu akan menerima kerugian dari penurunan harga. Dari penjelasan ini, kamu bisa menilai sendiri bahwa saham sama seperti usaha lainya ada keuntungan ada kerugian. Ada resiko yang tentunya harus kamu hadapi.
Namun, apakah saham itu dapat disamakan dengan judi? Judi adalah saat kamu melakukan taruhan demi mendapatkan keuntungan. Bertransaksi saham atau menjadi seorang investor memang memiliki dasar yang serupa, yakni untuk mendapatkan keuntungan. Tetapi elemen pentingnya adalah setiap transaksi saham dilakukan dengan konsiderasi dan penilaian yang jelas.
Bila kamu seorang investor, penilaian saham kamu akan berdasarkan kekuatan fundamental perusahaan. Misalnya kamu membeli saham BRI. Saat kamu hendak membelinya terdapat penilaian seperti arning per share, book value, price to earning ratio, debt to equity ratio hingga ke hal-hal yang manajerial seperti portofolio dan kompetensi para jajaran direksinya.
Bila kamu seseorang yang bertransaksi saham secara cepat atau trader maka penilaiannya adalah analisa teknikal seperti moving average trend saat ini apakah naik atau turun, psikologis pasar dan seterusnya. Baik investor atau trader keduanya mengambil keputusan dengan dasar yang amat sangat logis.
Terlebih lagi di Indonesia terdapat saham-saham yang dinilai syariah. Saham-saham syariah didata dan dikumpulkan dalam beberapa indeks seperti Jakarta Islamic Index dan Indeks Saham Syariah Indonesia.
Dari penjelasan kita di awal mengenai saham, resikonya, keuntunganya dan perbedaan saham dengan judi kamu dapat menilai bahwa saham merupakan salah satu sarana investasi yang ada resiko yang harus kamu pilih dengan cermat. Di artikel berikutnya, kita akan memberikan perbandingan antara saham, emas dan reksadana.